"ORIENTALISME(sebuah cara pandangorang barat atas islam)"

Salah satu bentuk persinggungan (baca pertemuan) Barat dan Islam adalah orientalisme. Secara sederhana, orientalisme diartikan sebagai cara pandang Barat atas Islam. Namun, sebagai suatu cara pandang, orientalisme tidak sederhana definisi di atas. Orientalisme telah memainkan peran yang penting dalam hubungan Islam dan Barat.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan suatu pengertian atas orientalisme dan sejarah perkembangannya. Orientalisme diangkat sebagai sub tema dari tema besar Islam dan Barat yang telah dipaparkan pada makalah sebelumnya (makalah presentasi kelas).
Definisi
Kajian Barat tentang Timur (orient), dalam hal ini Islam termasuk di dalamnya, telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru terjadi pada abad ke-18.[1]
Orientalisme berasal dari kata orient yang berarti Timur sebagai lawan dari occident berarti Barat. Orientalisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran atau scholarship or learning in oriental subject.[2] Pada abad ke 18 dan 19, istilah ini dipakai untuk merujuk kerja-kerja orientalis, yaitu ilmuwan yang menguasai bahasa dan literatur Timur; dan dalam dunia seni digunakan untuk mengidentifikasi karakter, gaya atau kualitas yang diasosiasikan kepada bangsa Timur. Pada akhir abad ke 18 dan seperempat abad pertama abad ke 19, istilah orientalis digunakan dalam konteks penguasa Inggeris di India, dalam pengertian yang lain. Pengertian itu adalah untuk mengidentifikasi pendekatan konservatif terhadap masalah-masalah pemerintahan yang dihadapi the East Indian Company.[3]
Sebagai dasar pengkajian berbagai teori, novel, gambaran sosial dan politik tentang Timur, dan masyarakatnya, tradisinya, mentalitasnya, dan juga hal-hal lainnya, para oreintalis memiliki interprtetasi terhadap itu semua berdasarkan asumsi-asumsi mereka. Sehingga orientalisme dapat disimpulkan sebagai suatu gerakan untuk menyingkap hakekat Timur kepada Barat. Istilah ini kemdian berkembang menjadi tidak hanya merujuk kepada makna geografis masyarakat belahan bumi sebelah timur, tapi juga semangat (spirit)nya yang ditakuti dan berbahaya bagi Barat.
Latar Belakang Munculnya Orientalisme
Latar belakang pengkajian oirientalisme sangatlah kompleks. Motif-motif yang ada di belakang orientalisme antara lain, Pertama, motif keagamaan. Barat yang di satu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Misi Islam yang misalnya menyempurnakan millah  sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Bagi Barat, kritik Islam ini perlu dijawab, agar tidak mempengaruhi penganut Kristen. Selain itu, konsep teologi Islam yang telah berhasil menjinakkan konsep-konsep metafisika Yunani sangat menarik untuk dikaji. Dengan mamahami Islam missionaris dapat menentukan strategi missi mereka menghadapi umat Islam.
Motif kedua, adalah keilmuan. Sejarah telah mencatat keberhasilan umat Islam dalam pengembangan sains dan teknologi dari berbagai bangsa, ketika orang Barat belum mempunyai apa-apa. Karena itu perlu menterjemahkan karya-karya Muslim. Motif ketiga, adalah persoalan ekonomi. Dengan perkembangan industrialisasi, Barat membutuhkan daerah jajahan dan sekaligus pasar. Peluang itu dilihat ada di dunia Muslim yang kala itu sedang terpuruk. Untuk itu Barat perlu mengkaji agama, kondisi demografi, budaya, kultur dan politik umat Islam.
Motif keempat, adalah politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan mengasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung yang besar bagi kekuatan politik dan agama mereka. Barat sadar bahwa Islam bukan hanya sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental. Tapi Barat juga sangat menyadari bahwa Islam adalah peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi keilmuan yang tinggi. Oleh sebab itu, mereka perlu mempelajari khazanan ini untuk kemuajuan mereka dan sekaligus menaklukkan Islam. Motif ini kemudian berkambang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang menjadi kolonialisme.
Fase Perkembangan Orientalisme
Fase pertama : Missionaris & Anti Islam (dimulai abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah membeberkan kerancuan kedua agama itu. Selain itu kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini sejalan dengan misionaris.        
Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim. Strategi yang digunakan adalah menyebarkan kesan  pada orang Timur dan Eropa bahwa “Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity).”[4] Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dsb yang kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya.[5]    
Fase kedua : Kajian dan Cacian (abad ke 17 dan 18 M).  Fase kedua ini terjadi bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis (1596-1667), dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad.
Tahun 1653, Alexander Ross, menerbitkan buku-buku caci maki a)  The Prophet of Turk and Author of the al-Coran. Dalam buku-bukunya itu ia seringkali menggunakan kata-kata kasar seperti The Great Arabian Imposter, The Little Horn in Danial, Arabian Swine, Goliath, Grand Hypocrite, Great Thief. ia menyebut al-Qur’an sbg Corrupted puddle of Mahomet’s invention, Mis-shapen issue of Mahomet’s brain, atau a gallimaufry of error dsb. Dalam Religion of the World, Alexander Ross mempertanyakan apakah Muhammad itu anti-Kristus terbesar yang pernah dibicarakan St. Paul dan St. John. Tahun 1679 Humphrey Preideaux menulis The Life of Muhammad. Buku ini berusaha membuktikan bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pura, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik.
G Sale (1677-1736) penterjemah Al-Quran tahun 1734 menulis Muhammad adalah pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward Gibbon (1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah “Pembohong dan pada hari-hari terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualistis”.
Fase ketiga: Kajian & Kolonialisme (abad ke 19 dan ¼ pertama abad ke 20). Fase ini bersamaan dengan era kolonialisme Barat ke negara-negara Islam dalam bidang politik, militer, kultural dan ekonomi.  Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam bidang studi Islam. Tidak sedikit  pula dari karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam. Periode ini juga ditandai dengan lahirnya pusat-pusat studi Keislaman. Tahun 1822 ddirikan Society Asiatic of Paris, di Paris. Tahun 1823 Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland didirikan di Inggris; Tahun 1842 American Oriental Society, didirikan di Amerika; Tahun 1916 University of London, mendirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies).
Fase keempat: Kajian & Politik (paruh ke 2 abad ke 19). Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan juga bisnis.  Pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut. Beberapa contohnya adalah Cantwell Smith, On Understanding Islam-Selected Studies, the Hague, 1981, 296) yang menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, tapi baginya, Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi itu. Sir Hamilton Gibb juga menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi Muhammad, namun Islam perlu menafsirkan ulang konsep yang tidak bisa dipertahankan lagi (Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 55, 1962, 269).
Sebagai respon dari gerakan ini, muncul beberapa ilmuwan yang menyampaikan kritik mereka terhadap orientalisme. Beberapa di antaranya adalah Anouar Abdel-Malek, (Palestina) Orientalism in Crisis 1963, A.L. Tibawi, (Palestina) English Speaking Orientalists (1964) dan Second Critique of the English Speaking Orientalist (1979), Edwards Said, (Palestina) Orientalism: Western Conception of the Orient (1978), Bryan S Turner, (Inggris) Marx and the End of Orientalism (1978).
Anouar Abdel-Malek, (Palestina) Orientalism in Crisis 1963, menyatakan bahwa kemerdekaan paska Perang Dunia II menghasilkan krisis pada orientalisme sebab materinya sangat Eropah sentris dan perlu direvisi. Orientalisme sangat dipengaruhi oleh kecurigaan yang berkaitan dengan kolonialisme, missionaris, militer, pengusaha dsb. Kajian orientalis pada umumnya menganggap orang Timur sebagai obyek kajian yang diwarnai oleh sikap otherness.
A.L. Tibawi, (Palestina) English Speaking Orientalists (1964) dan Second Critique of the English Speaking Orientalist (1979), menyatakan bahwa ciri utama orientalis adalah menolak mengakui bahwa bagai komunitas Muslim Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir yang membawa risalah bagi semua umat manusia dan membenarkan agama sebelumnya. Orientalis menyerang karena motif missionaris dan akademik tapi masih tetap diwarnai oleh distorsi dan interpretasi yang salah terhadap Islam. Asumsi umum para orientalis berfikir agar Islam disesuaikan dengan pemikiran Eropa modern dan tidak terpikir bagaiman mereka menyesuaikan dengan realitas Islam yang sesungguhnya. Materi tentang Islam yang ditulis dan diajarkan orientalis masih jauh dari memenuhi kebutuhan diplomat, missionaris dan bisnismen. Isi dan nadanya masih banyak yang anti-Islam dan anti Arab, khususnya dalam isu-isu kontemporer. Mereka yang belajar dari orientalis dan kemudian berhubungan dengan orang Islam dan Arab seringkali mendapati realitas yang berbeda.
Dalam hal ini, Edward Said menyatakan bahwa orientalisme lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.  Meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik. Apa saja yang dikatakan oleh orang Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperialis dan etnocentris. Sebab, Barat memandang Timur dengan rasa superioritas yang tinggi. Sikap rasial itu merasuk kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Ringkasnya, kajian Timur yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman imperialisme dan persengketaan kultural (cultural hostility).
Sedangkan sosiologi Inggris, Bryan S. Turner mnyatakan bahwa kajian Orientalis memisahkan antara Timur dan Barat dan menganggap Timur lebih rendah. Hal ini didasarkan pada kultur modern, meskipun mereka beranggapan ilmu sosial itu netral.
Kesimpulan
Jika kritik terhadap orientalis adalah benar maka semua semua observasi Barat tentang Islam adalah distorsi hakekat Islam yang sebenarnya.  Maka dari itu apa yang dikatakan Barat tentang Barat adalah benar dan apa yang dikatan Muslim tentang Islam dalah benar dan harus jadi pusat kajian. Orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kaca mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik.
REFERENSI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

YUK SERVICE AC? JANGAN NUNGGU RUSAK

Service AC Panggilan